Minggu lalu saya menonton Ayat-Ayat Cinta.
Bertiga.
Saya-Mpi-Fitrie.
Masing-masing datang dalam kapasitas dan misi yang berbeda-beda.
Mpi atas nama Feminisme.
Saya atas nama solidaritas istri yg anti poligami.
Dan Fitrie atas nama dirinya sendiri (she refused to label herself)
Apa yang akan saya tulis disini bukan semata resensi film itu sendiri.
Rasanya Ayat-ayat Cinta membawa ‘pesan’ yang lebih penting untuk saya cermati sebagai seorang perempuan ketimbang bagaimana sebuah buku Habiburahman El-Shirazy yang laku keras dan cetak ulang berkali-kali diterjemahkan dengan baik ke dalam sebuah film layar lebal. Let the movie critics do their job.
Bahwa film itu sendiri mengusung background ajaran agama Islam yang tentunya bukan porsi saya sebagai seorang Nasrani juga menjadi tidak penting lagi karena menurut saya toh moral of the story Ayat-ayat Cinta itu sendiri universal and borderless.
Karena cinta itu sendiri (if not POLIGAMI) universal – as well as borderless.
Fakta #1 – fakta yang paling seru.
POLIGAMI.
To this date, saya masih menjadi salah satu orang yang tidak dan tak akan pernah bisa menerima konsep Poligami (and Poliandri tentunya, if any). Call me clueless, so be it. It’s a pathetic concept right from the making after all.
Ini menjadi menarik, (dan sekaligus subyektif) bagi saya karena Ayat-Ayat Cinta itu sendiri mengumbar ’indahnya’ berpoligami.
The whole movie, I spent thinking and searching ’the beauty of poligami’ message yang coba diformulasikan sedemikian rupa sehingga seolah-olah, baik Aisha-Fahri-Maria -- (yg pria sengaja saya letakkan di tengah untuk mencoba meng-’address’ sisi happiness threesome marriage karena sang suami yang berada di tengah berlaku: ADIL (??????) untuk kedua istrinya –yeah rite) -- baik-baik saja, gemah ripah loh jenawi, dan mensyukuri hidupnya tiada henti karena bisa membagi cinta dan perasaannya untuk seorang pria yang ia cintai dengan perempuan lain.
Funny thing is: I didnt find any (you can smile back to me at this point because I laugh already).
There’s no such thing as ‘the beauty of poligami’.
Now, let me correct my statement.
There’s no such thing as ‘the beauty of poligami’ bagi kaum perempuan.
Sebaliknya, there is, OF COURSE (with the big O)..buat kaum pria.
It’s a simple mathematic really.
No rocket science or anything.
Bertiga.
Saya-Mpi-Fitrie.
Masing-masing datang dalam kapasitas dan misi yang berbeda-beda.
Mpi atas nama Feminisme.
Saya atas nama solidaritas istri yg anti poligami.
Dan Fitrie atas nama dirinya sendiri (she refused to label herself)
Apa yang akan saya tulis disini bukan semata resensi film itu sendiri.
Rasanya Ayat-ayat Cinta membawa ‘pesan’ yang lebih penting untuk saya cermati sebagai seorang perempuan ketimbang bagaimana sebuah buku Habiburahman El-Shirazy yang laku keras dan cetak ulang berkali-kali diterjemahkan dengan baik ke dalam sebuah film layar lebal. Let the movie critics do their job.
Bahwa film itu sendiri mengusung background ajaran agama Islam yang tentunya bukan porsi saya sebagai seorang Nasrani juga menjadi tidak penting lagi karena menurut saya toh moral of the story Ayat-ayat Cinta itu sendiri universal and borderless.
Karena cinta itu sendiri (if not POLIGAMI) universal – as well as borderless.
Fakta #1 – fakta yang paling seru.
POLIGAMI.
To this date, saya masih menjadi salah satu orang yang tidak dan tak akan pernah bisa menerima konsep Poligami (and Poliandri tentunya, if any). Call me clueless, so be it. It’s a pathetic concept right from the making after all.
Ini menjadi menarik, (dan sekaligus subyektif) bagi saya karena Ayat-Ayat Cinta itu sendiri mengumbar ’indahnya’ berpoligami.
The whole movie, I spent thinking and searching ’the beauty of poligami’ message yang coba diformulasikan sedemikian rupa sehingga seolah-olah, baik Aisha-Fahri-Maria -- (yg pria sengaja saya letakkan di tengah untuk mencoba meng-’address’ sisi happiness threesome marriage karena sang suami yang berada di tengah berlaku: ADIL (??????) untuk kedua istrinya –yeah rite) -- baik-baik saja, gemah ripah loh jenawi, dan mensyukuri hidupnya tiada henti karena bisa membagi cinta dan perasaannya untuk seorang pria yang ia cintai dengan perempuan lain.
Funny thing is: I didnt find any (you can smile back to me at this point because I laugh already).
There’s no such thing as ‘the beauty of poligami’.
Now, let me correct my statement.
There’s no such thing as ‘the beauty of poligami’ bagi kaum perempuan.
Sebaliknya, there is, OF COURSE (with the big O)..buat kaum pria.
It’s a simple mathematic really.
No rocket science or anything.
- Perempuan yang bersedia dipoligami tidak dan tak akan pernah bisa jujur pada dirinya sendiri bahwa dia menikmati sepenuhnya dan bahagia atas ‘pilihannya’ itu. Dia melakukannya karena either terpaksa, dipaksa atau memilih untuk tidak punya pilihan lain SELAIN dipoligami.
- Kaum pria on the other hand, menikmati sepenuh hati ‘indahnya berpoligami’. Punya lebih dari 1 istri berarti extra privileges. Kebanggaan terbesar buat mereka saat bisa menaklukkan max (is there any max? or have they took the liberty to extend the max number?) 4 perempuan sekaligus dalam 1 ranjang perkawinan. Alasan klise bahwa mereka capable untuk berlaku adil kepada para istri – bahwa poligami dilakukan atas nama kemanusiaan: menolong janda dan anak yatim – is no more than a sad justification to satisfy male ‘hunger’ inside themselves.
Rasanya di zaman modern sekarang ini, kita sudah jauh lebih pintar untuk mengerti bahwa yang namanya ADIL bukan porsinya manusia, tapi Tuhan.
Dan bahwa menolong janda dan anak yatim bisa dilakukan dengan santunan dan dompet kemanusiaan – bukan dan tidak harus lewat perkawinan.
Conclusion:
At any case, hanya kaum pria yang diuntungkan dengan Poligami.
Not us.
Poligami hanya justifikasi untuk egoisme berlebihan kaum pria, yang tidak pernah merasa puas dengan 1 istri saja. Perempuan di sisi lain lagi-lagi hanya menjadi korban.
Makes you mad isnt’t it?
Fakta #2
Mencintai tidak sama dengan keinginan untuk memiliki.
Fakta besar yang harus saya syukuri bahwa sang pemilik cerita sepenuhnya menyadari hal ini lewat pesan yang ia titipkan dalam kalimat yang diucapkan Maria sebelum ajalnya kepada Fahri dan Aisha.
Mencintai adalah bukti perasaan yang tulus diberikan Aisha dan Maria kepada Fahri.
Sementara Keinginan untuk memiliki adalah apa yang dipilih Fahri untuk ia lakukan (terlepas dari desakan Aisha istri pertamanya yang tidak rela suaminya dihukum mati karena fitnah Noura): yaitu untuk Menikah (lagi) dengan Maria.
If you see the movie, it speaks for itself bahwa Fahri – yang semula ‘seolah’ keberatan dengan pilihan Poligaminya itu – kemudian menikmati sepenuh hati ‘indahnya berpoligami’.
Conclusion:
At any case, hanya kaum pria yang diuntungkan dengan Poligami.
Not us.
Poligami hanya justifikasi untuk egoisme berlebihan kaum pria, yang tidak pernah merasa puas dengan 1 istri saja. Perempuan di sisi lain lagi-lagi hanya menjadi korban.
Makes you mad isnt’t it?
Fakta #2
Mencintai tidak sama dengan keinginan untuk memiliki.
Fakta besar yang harus saya syukuri bahwa sang pemilik cerita sepenuhnya menyadari hal ini lewat pesan yang ia titipkan dalam kalimat yang diucapkan Maria sebelum ajalnya kepada Fahri dan Aisha.
Mencintai adalah bukti perasaan yang tulus diberikan Aisha dan Maria kepada Fahri.
Sementara Keinginan untuk memiliki adalah apa yang dipilih Fahri untuk ia lakukan (terlepas dari desakan Aisha istri pertamanya yang tidak rela suaminya dihukum mati karena fitnah Noura): yaitu untuk Menikah (lagi) dengan Maria.
If you see the movie, it speaks for itself bahwa Fahri – yang semula ‘seolah’ keberatan dengan pilihan Poligaminya itu – kemudian menikmati sepenuh hati ‘indahnya berpoligami’.
Tinggal bertiga di rumah Aisha yang indah dan besar, makan bertiga, tidur dengan jadwal bergiliran dan bercengkerama sesuai jadwal yang sudah mereka atur bertiga.
Toh pada kenyataannya, Aisha dan Maria tidak bahagia.
Toh pada kenyataannya, Aisha dan Maria tidak bahagia.
Aisha bahkan memilih untuk meninggalkan Fahri dan Maria dan keluar (dari rumahnya sendiri yang mereka diami bertiga) untuk berkontemplasi atas pilihannya itu.
Maria di satu sisi menyadari bahwa dirinya telah merusak kebahagiaan orang lain dan diam-diam mencoba menikmati ’guilty pleasurenya’ sendirian.
Fahri – yang sudah sangat bahagia dengan kondisi itu – juga tidak siap ketika mengetahui Aisha menderita dengan pilihannya, dan tidak rela kehilangan istrinya yang baik budi dan berjiwa besar.
Conclusion:
Enough is never enough.
When you can have more, you want more.
Jadi, pertanyaan selanjutnya: siap dan bersediakah anda untuk dipoligami?
I sure dont – sure wont – and all those poligami men can go to hell for all I care.
Maria di satu sisi menyadari bahwa dirinya telah merusak kebahagiaan orang lain dan diam-diam mencoba menikmati ’guilty pleasurenya’ sendirian.
Fahri – yang sudah sangat bahagia dengan kondisi itu – juga tidak siap ketika mengetahui Aisha menderita dengan pilihannya, dan tidak rela kehilangan istrinya yang baik budi dan berjiwa besar.
Conclusion:
Enough is never enough.
When you can have more, you want more.
Jadi, pertanyaan selanjutnya: siap dan bersediakah anda untuk dipoligami?
I sure dont – sure wont – and all those poligami men can go to hell for all I care.
Hidup feminisme.